Kebijakan Penonaktifan NIK Warga Jakarta: Buruk Rupa Cermin Dibelah

Foto-INT/IST

KEBIJAKAN ini bagaikan pepatah "buruk rupa cermin dibelah," yang artinya menggambarkan seseorang atau pihak yang tidak mau mengakui kesalahan sendiri dan justru menyalahkan pihak lain atau mencari solusi yang tidak tepat

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang saat ini dipimpin oleh Pejabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono telah mengeluarkan kebijakan yang cukup kontroversial. Kebijakan itu yakni penonaktifan Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi warga yang tidak mematuhi ketentuan tertentu. 

Kebijakan ini bagaikan pepatah "buruk rupa cermin dibelah," yang artinya menggambarkan seseorang atau pihak yang tidak mau mengakui kesalahan sendiri dan justru menyalahkan pihak lain atau mencari solusi yang tidak tepat.

Dalam konteks ini, kebijakan penonaktifan NIK seolah-olah merupakan upaya untuk menutupi atau mengatasi masalah administrasi dan kependudukan yang sebenarnya lebih kompleks. Alih-alih mencari solusi yang mendalam dan sistemik, pemerintah memilih langkah yang justru memperkeruh keadaan dan merugikan warga.

Masalah administrasi kependudukan di Jakarta sejak lama tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepadatan penduduk, urbanisasi yang tinggi, dan mobilitas warga yang sangat dinamis membuat pengelolaan data kependudukan menjadi amburadul. Misalnya, dalam setiap pembagian bansos, persoalan akurasi data warga Jakarta yang berhak menerima selalu bermasalah atau tidak tepat sasaran. 

Namun penonaktifan NIK bukanlah jawaban atas semua masalah ini. Sebaliknya, kebijakan ini berpotensi menambah masalah baru. Setelah saya analisis, setidaknya berpotensi muncul 3 (tiga) masalah atas kebijakan ini. 

Pertama , kehilangan hak dasar warga, karena NIK adalah kunci bagi banyak layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya. Penonaktifan NIK sama saja dengan mencabut hak-hak dasar warga negara.

Kedua, administrasi yang semakin rumit, sebab kebijakan ini bisa menambah beban administrasi baik bagi pemerintah maupun bagi warga yang terkena dampaknya. Proses pengaktifan kembali NIK tentu tidak sederhana dan memerlukan waktu.

Ketiga, dampak sosial dan ekonomi, lantaran tanpa NIK yang aktif, warga bisa kehilangan pekerjaan, sulit mendapatkan akses perbankan, serta berbagai masalah sosial-ekonomi lainnya.

Pepatah "buruk rupa cermin dibelah" mengingatkan kita bahwa menyalahkan pihak lain atau mencari solusi instan tidak akan menyelesaikan masalah. Yang perlu dilakukan adalah Pemprov DKI Jakarta harus introspeksi dan mencari akar masalah untuk menemukan solusi yang tepat. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

Yang pertama soal perbaikan sistem administrasi. Pemprov DKI Jakarta perlu berinvestasi dalam teknologi dan sumber daya manusia untuk memperbaiki sistem administrasi kependudukan. Data yang akurat dan terintegrasi akan mempermudah pengelolaan dan pengawasan.

Yang kedua, memberikan edukasi dan sosialisasi kepada warga Jakarta dan pendatang mengenai pentingnya mematuhi ketentuan administrasi kependudukan secara proaktif, bukan reaktif.

Dan yang terakhir ketiga yaitu, setiap kebijakan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap hak asasi manusia. Pendekatan yang lebih humanis dan berempati terhadap kondisi warga Jakarta perlu dikedepankan.

Kebijakan penonaktifan NIK warga Jakarta merupakan cermin dari tantangan besar dalam pengelolaan administrasi kependudukan di kota metropolitan ini. Mengambil langkah drastis tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang hanya akan memperparah situasi. 

Seperti pepatah "buruk rupa cermin dibelah," Pemprov DKI Jakarta  harusnya melihat ke dalam, memperbaiki sistem yang ada, dan mencari solusi yang lebih bijak dan berkelanjutan. Dengan begitu, permasalahan kependudukan dapat diselesaikan tanpa harus mengorbankan hak-hak dasar warga.

Dalam hal ini, Heru Budi Hartono adalah hanya Pejabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, bukan gubernur yang dipilih oleh warga Jakarta. Sebagai Pj Gubernur, ada ketentuan yang melarangnya mengambil keputusan penting tanpa persetujuan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), seperti yang diatur dalam Pasal 132A Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008. Ketentuan ini melarang Pejabat Gubernur membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pemerintah sebelumnya.

Jika kebijakan Pj Gubernur Heru Budi Hartono tentang penonaktifan NIK warga Jakarta ini dianggap sebagai keputusan penting dan bertentangan dengan kebijakan program gubernur sebelumnya, maka warga Jakarta dapat menggugat kebijakan ini, terutama jika kebijakan tersebut belum mendapat izin dari Mendagri. Bersambung...